A. Makna Pendidikan Kesetaraan
Pendidikan kesetaraan merupakan salah satu jenis pendidikan Nonformal yang berstruktur dan berjenjang, memberikan kompetensi minimal bidang akademik dan lebih memiliki kompetensi kecakapan hidup, serta memberikan kompetensi kecakapan hidup agar lulusannya mampu hidup mandiri dan belajar sepanjang hayat. Pendidikan kesetaraan memiliki manfaat antara lain yaitu :
1. Pendidikan kesetaraan meliputi Program Paket A Setara SD, Paket B Setara SMP, Paket C Setara SMA.
2. Lulusan Program Paket A berhak mendapat ijazah dan diakui setara dengan ijazah SD, lulusan Paket B berhak mendapat ijazah dan diakui setara dengan ijazah SMP, dan lulusan Paket C berhakn mendapat ijazah dan diakui setara dengan ijazah SMA.
3. Paket A & B setara dalam arti sama dengan kompetensi minimal / essensial SD/MI & SMP/MTs ditambah kompetensi yang lebih berorientasi kecakapan hidup.
4. Paket C setara dalam arti sama dengan kompetensi minimal/essensial SMA/MA ditambah dengan ditambah kompetensi yang lebih berorientasi kecakapan hidup/kewirausahaan.
B. Kurikulum dan Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Kesetaraan
Kurikulum Satuan Pendidikan Kesetaraan disusun secara induktif, tematik dan berbasis kecakapan hidup, serta sesuai dengan konteks local dan global. Muatan kurikulum Pendidikan Kesetaraan mengacu pada standar nasional pendidikan yang meliputi mata pelajaran, muatan local, dan pengembangan diri. Pengaturan beban belajar diatur dengan menggunakan dua sistem Jam belajar:
1. Pertemuan sistem tatap muka (regular), dan
2. Satuan Kredit Kesetaraan (SKK).
Standar Kompetensi Lulusan Permendiknas No. 23 Tahun 2006 menyebutkan, lulusan pendidikan kesetaraan setara dengan lulusan pendidikan formal tetapi memiliki ciri khas yaitu:
(1) Paket A memiliki keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari,
(2) Paket B memiliki keterampilan untuk dapat bekerja,
(3) Paket C memiliki keterampilan untuk dapat berwirausaha. Inilah ruh sebenarnya dari program pendidikan kesetaraan.
Namun pada saat ini baik PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) maupun Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang notabene merupakan “laboratoriumnya” program-program pendidikan nonformal yang berada di jajaran Departemen Pendidikan Nasional, dalam menyelenggarakan program pendidikan kesetaraan, tak jauh berbeda dengan pendidikan formal. Baik metode maupun bahan ajarnya merupakan copy paste dari pendidikan formal. Karenanya tak berlebihan jika dikatakan, selain ijazah, warga belajar yang beragam latar belakangnya, waktu dan tempat belajar yang fleksibel, tidak ada lagi nilai lebih dan ciri khas yang dimiliki lulusan program pendidikan kesetaraan.
Menurut Ade Sudaryat seorang mahasiswa semester akhir (S.2) Program Studi Pendidikan Luar Sekolah, Sekolah Pasca Sarjana UPI Bandung (dalam http://www.jugaguru.com/article/49/tahun/2009/bulan/01/tanggal/28/id/871/)Pendidikan kesetaraan Paket B maupun Paket C hanya melahirkan lulusannya yang samogol (tidak matang, tidak utuh). Secara akademis memiliki kualitas yang lebih rendah dari pendidikan formal, miskin dengan pendidikan keterampilan yang dapat dijadikan bekal untuk dapat hidup mandiri. Jadi apa yang bisa diharapkan dari lulusan program pendidikan kesetaraan? Para penyelenggara pendidikan kesetaraan seharusnya memahami, para lulusan pendidikan kesetaraan jarang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Setelah menyelesaikan program pendidikan kesetaraan, rata-rata mereka menjadi pencari kerja. Suatu prestasi yang sangat tinggi dan akan dilirik semua orang jika pendidikan kesetaraan mampu melahirkan lulusan yang utuh, unggul secara akademis dan memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk hidup mandiri dan memiliki bekal untuk berwirausaha.
C. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Kesetaraan
Kini program pendidikan kesetaraan, baik Paket A, Paket B, maupun Paket C sudah mulai dikenal masyarakat. Namun demikian, penyelenggaraan pendidikan kesetaraan harus memiliki nilai lebih, memiliki nilai pembeda dengan pendidikan formal. Kelompok Belajar Usaha (KBU) yang merupakan salah satu nilai lebih dari pendidikan kesetaraan belum sepenuhnya dimiliki oleh setiap penyelenggara program pendidikan kesetaraan. Padahal, KBU merupakan ajang pelatihan bagi mereka untuk menjalani kehidupan sesudah menyelesaikan jenjang pendidikan kesetaraan.
Maka saat ini para penyelenggara pendidikan kesetaraan mendapat tantangan berat, yakni harus memberdayakan warga belajar atau peserta didiknya. Selain itu harus berupaya mengembalikan ruh pendidikan kesetaraan yang selama ini hilang, yakni penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta sikap dan kepribadian profesional. Dalam upaya mengembalikan ruh pendidikan kesetaraan dan memberdayakan warga belajar, para penyelenggara pendidikan kesetaraan dan tutor harus mampu menggali potensi dan bakat yang dimiliki peserta didik dan memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan sekitar untuk pengembangan dan pemantapan proses pembelajaran. Djudju Sudjana (2000 : dikutip dari http://www.jugaguru.com/article/49/tahun/2009/bulan/01/tanggal/28/id/871/), guru besar Pendidikan Luar Sekolah UPI Bandung mengatakan, terdapat empat sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan pemantapan proses pembelajaran , yakni (1) sumber daya manusia, (2) sumber daya alam, (3) sumber daya budaya, dan (4) sumber daya teknologi. Menyelenggarakan pendidikan kesetaraan merupakan tugas mulia dalam upaya ikut mencerdaskan bangsa. Agar hasilnya maksimal, penyelenggaraannya tak boleh asal-asalan, tapi harus benar-benar profesional. Tugas semua kalangan yang berkompeten dengan program pendidikan kesetaraan untuk membenahi dan menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan kesetaraan di lapangan. Mungkin inilah saatnya bagi para lulusan Pendidikan Luar Sekolah berunjuk gigi, berdedikasi mengimplementasikan ilmu yang telah mereka dapat dari bangku kuliah untuk meningkatkan mutu pendidikan kesetaraan. Para lulusan inilah tenaga profesional yang mampu membelajarkan diri dan masyarakat secara berkelanjutan. Sebab jika pendidikan kesetaraan dilaksanakan secara profesional, akan memiliki nilai lebih dibandingkan dengan pendidikan formal, lulusannya dapat hidup mandiri, apalagi mampu menciptakan lapangan kerja, sehingga nantinya lulusan pendidikan kesetaraan takkan lagi dipandang sebelah mata.
Sungguh suatu kebanggaan tersendiri bila para lulusan Pendidikan Luar Sekolah menjadi tenaga profesional yang mampu membuat nilai lebih pada pendidikan kesetaraan dibanding dengan pendidikan formal. Dari sini pendidikan kesetaraan dapat menjadi sebuah alternatif pendidikan dasar dimana setiap kalangan bisa melaksanakannya, baik itu orang kaya, miskin, anak jalanan, dan juga masyarakat di daerah terpencil yang masih minim pendidikan. Menyadari bahwa SDM di negara kita yang masih terbilang cukup rendah, setidaknya kita masih memiliki suatu sikap yang optimis pula guna dapat mengangkat SDM kita yang masih serba ketertinggalan tersebut yang salah satu usahanya dapat kita tempuh yaitu melalui jalur pendidikkan non formal atau lebih di kenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS). Terlebih dalam pendidikan non-formal terdapat diversifikasi layanan pendidikan kesetaraan, yaitu :
1. Pangkalan belajar, yaitu sistem pelayanan pendidikan kesetaraan yang menghubungkan antara pangkalan (homebased) dengan daerah-daerah penyangga (hinterland) pada kawasan khusus, seperti kawasan perbatasan, pulau kecil.
2. Pembelajaran langsung, yaitu model layanan pembelajaran yang dilakukan secara langsung.
3. Lumbung Sumber Daya, yang berorientasi basis komunitas.
4. Layanan Pendidikan bergerak (mobile education service) atau Kelas Berjalan (Mobile Classroom), merupakan pelayanan pendidikan dengan sistem jemput bola (door to door) yang dilakukan oleh tutor pada peserta didik dari satu tempat ke tempat yang lain.
5. E-Learning, yaitu pembelajaran pendidikan kesetaraan secara online (e-learning) sebagai alternatif bagi peserta didik yang relatif sulit untuk bertemu langsung dengan tutor atau meninggalkan tempat kerjanya.
Selain itu dukungan pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah menggerakan program pendidiakn non formal tersebut, sebab berdasarkan UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus di tumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan yang berbasis masyarkat, serta pemerintah juga bertanggung jawab atas kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya bagi penuntasan wajib belajar 9 tahun.