Selasa, 26 Februari 2013

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT


A.    Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Para ilmuwan sosial dalam memberikan pengertian pemberdayaan mempunyai rumusan yang berbeda-beda dalam berbagai konteks dan bidang kajian, hal tersebut dikarenakan belum ada definisi yang tegas mengenai konsep pemberdayaan. Oleh karena itu, agar dapat memahami secara mendalam tentang pengertian pemberdayaan maka perlu mengkaji beberapa pendapat para ilmuwan yang memiliki komitmen terhadap pemberdayaan masyarakat. 
Pertama akan kita pahami pengertian tentang pemberdayaan. Menurut Sulistiyani (2004 : 77) secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses pemberian daya (kekuatan/kemampuan) kepada pihak yang belum berdaya. Kedua pengertian tentang masyarakat, menurut Soetomo (2011 : 25) masyarakat adalah sekumpulan orang yang saling berinteraksi secara kontinyu, sehingga terdapat relasi sosial yang terpola, terorganisasi.
Dari kedua definisi tersebut bila digabungkan dapat dipahami makna pemberdayaan masyarakat. Namun sebelum kita tarik kesimpulan, terlebih dahulu kita pahami makna pemberdayaan masyarakat menurut para ahli. Menurut  Moh. Ali Aziz, dkk (2005 : 136) :
“Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses di mana masyarakat, khususnya mereka yang kurang memiliki akses ke sumber daya pembangunan, didorong untuk meningkatkan kemandiriannya di dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pemberdayaan masyarakat juga merupakan proses siklus terus-menerus, proses partisipatif di mana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok  formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama. Jadi, pemberdayaan masyarakat lebih merupakan suatu proses”.

Selanjutnya pemaknaan pemberdayaan masyarakat menurut Madekhan Ali (2007 : 86) yang mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai berikut ini :
“Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah bentuk partisipasi untuk membebaskan diri mereka sendiri dari ketergantungan mental maupun fisik. Partisipasi masyarakat menjadi satu elemen pokok dalam strategi pemberdayaan dan pembangunan masyarakat, dengan alasan; pertama, partisipasi masyarakat merupakan satu perangkat ampuh untuk memobilisasi sumber daya lokal, mengorganisir serta membuka tenaga, kearifan, dan kreativitas masyarakat. Kedua, partisipasi masyarakat juga membantu upaya identifikasi dini terhadap kebutuhan masyarakat”.

Mengacu pada pengertian dan teori para ahli di atas, dalam penelitian ini pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga masyarakat dapat mencapai kemandirian. Kemudian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan daya atau kekuatan pada masyarakat dengan cara memberi dorongan, peluang, kesempatan, dan perlindungan dengan tidak mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang diberdayakan untuk mengembangkan potensinya sehingga masyarakat tersebut dapat meningkatkan kemampuan dan mengaktualisasikan diri atau berpartisipasi melalui berbagai aktivitas.
B.     Tujuan  Pemberdayaan Masyarakat
Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat menurut Sulistiyani (2004 : 80) adalah untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tersebut. Untuk mencapai kemandirian masyarakat diperlukan sebuah proses. Melalui proses belajar maka secara bertahap masyarakat akan memperoleh kemampuan atau daya dari waktu ke waktu.
Berikut tujuan pemberdayaan menurut Tjokowinoto dalam Christie S (2005: 16) yang dirumuskan dalam 3 (tiga) bidang yaitu ekonomi, politik, dan sosial budaya ;
“Kegiatan pemberdayaan harus dilaksanakan secara menyeluruh mencakup segala aspek kehidupan masyarakat untuk membebaskan kelompok masyarakat dari dominasi kekuasan yang meliputi bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya. Konsep pemberdayaan dibidang ekonomi adalah usaha menjadikan ekonomi yang kuat, besar, mandiri, dan berdaya saing tinggi dalam mekanisme pasar yang besar dimana terdapat proses penguatan golongan ekonomi lemah. Sedang pemberdayaan dibidang politik merupakan upaya penguatan rakyat kecil dalam proses pengambilan  keputuan yang menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya atau kehidupan mereka sendiri. Konsep pemberdayaan masyarakat di bidang sosial budaya merupakan upaya penguatan rakyat kecil melalui peningkatan, penguatan, dan penegakan nilai-nilai, gagasan, dan  norma-norma, serta mendorong terwujudnya organisasi sosial yang mampu memberi kontrol terhadap perlakuan-perlakuan politik dan ekonomi yang jauh dari moralitas”.
Dari paparan tersebut dapat kita simpulkan bahwa tujuan pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat terutama dari kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan, dan ketidakberdayaan. Kemiskinan dapat dilihat dari indikator pemenuhan kebutuhan dasar yang belum mencukupi/layak. Kebutuhan dasar itu, mencakup pangan, pakaian, papan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi. Sedangkan keterbelakangan, misalnya produktivitas yang rendah, sumberdaya manusia yang lemah, kesempatan pengambilan keputusan yang terbatas.
Kemudian ketidakberdayaan adalah melemahnya kapital sosial yang ada di masyarakat (gotong royong, kepedulian, musyawarah, dan kswadayaan) yang pada gilirannya dapat mendorong pergeseran perilaku masyarakat yang semakin jauh dari semangat kemandirian, kebersamaan, dan kepedulian untuk mengatasi persoalannya secara bersama.
C.    Strategi dan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat
Berdasar pendapat Sunyoto Usman (2003 : 40-47 ) ada beberapa strategi yang dapat menjadi pertimbangan untuk dipilih dan kemudian diterapkan  dalam pemberdayaan masyarakat, yaitu menciptakan iklim, memperkuat daya, dan melindungi.
Dalam upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat  dari tiga sisi, yaitu ; pertama,  menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan  potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia memiliki potensi atau daya yang dapat dikembangkan. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering), upaya yang amat pokok adalah peningkatan taraf pendidikan, dan derajat kesehatan, serta akses ke dalam sumber-sumber kemajuan ekonomi seperti modal, lapangan kerja, dan pasar. Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah.
Berbicara tentang pendekatan, bila dilihat dari proses dan mekanisme perumusan program pembangunan masyarakat, pendekatan pemberdayaan cenderung mengutamakan alur dari bawah ke atas atau lebih dikenal pendekatan bottom-up. Pendekatan ini merupakan upaya melibatkan semua pihak sejak awal, sehingga setiap keputusan yang diambil dalam perencanaan adalah keputusan mereka bersama, dan mendorong keterlibatan dan komitmen sepenuhnya untuk melaksanakannya.
Partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan dalam rangka perencanaan dan penentuan kebijakan, atau dalam pengambilan keputusan. Model pendekatan dari bawah mencoba melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pembangunan. Pendekatan yang dilakukan tidak berangkat dari luar melainkan dari dalam. Seperangkat masalah dan kebutuhan dirumuskan bersama, sejumlah nilai dan sistem dipahami bersama. Model bottom memulai dengan situasi dan kondisi serta potensi lokal. Dengan kata lain model kedua ini menampatkan manusia sebagai subyek. Pendekatan “bottom up” lebih memungkinkan penggalian dana masyarakat untuk pembiayaan pembangunan. Hal ini disebabkan karena masyarakat lebih merasa “memiliki”, dan merasa turut bertanggung jawab terhadap keberhasilan pembangunan, yang nota bene memang untuk kepentingan mereka sendiri. Betapa pun pendekatan bottom-up memberikan kesan lebih manusiawi dan memberikan harapan yang lebih baik, namun tidak lepas dari kekurangannya, model ini membutuhkan waktu yang lama dan belum menemukan bentuknya yang mapan.

D.    Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Untuk melakukan pemberdayaan masyarakat secara umum dapat diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan masyarakat, sebagai berikut :
1)      Belajar Dari Masyarakat
Prinsip yang paling mendasar adalah prinsip bahwa untuk melakukan pemberdayaan masyarakat adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat. Ini berarti, dibangun pada pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri.
2)      Pendamping sebagai Fasilitator
Masyarakat sebagai Pelaku Konsekuensi dari prinsip pertama adalah perlunya pendamping menyadari perannya sebagai fasilitator dan bukannya sebagai pelaku atau guru. Untuk itu perlu sikap rendah hati serta ketersediaan untuk belajar dari masyarakat dan menempatkan warga masyarakat sebagai narasumber utama dalam memahami keadaan masyarakat itu. Bahkan dalam penerapannya masyarakat dibiarkan mendominasi kegiatan. Kalaupun pada awalnya peran pendamping lebih besar, harus diusahakan agar secara bertahap peran itu bisa berkurang dengan mengalihkan prakarsa kegiatan-kegiatan pada warga masyarakat itu sendiri.
3)      Saling Belajar
Saling Berbagi Pengalaman Salah satu prinsip dasar pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat. Hal ini bukanlah berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Kenyataan objektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat tidak sempat mengejar perubahan-perubahan yang terjadi dan tidak lagi dapat memecahkan masalah-masalah yang berkembang. Namun sebaliknya, telah terbukti pula bahwa pengetahuan modern dan inovasi dari luar yang diperkenalkan oleh orang luar tidak juga memecahkan masalah mereka.

Rabu, 15 Juni 2011

Grand Desain Pendidikan Kesataraan


Grand Desain Pendidikan Kesataraan

A.      Konsep Layanan Melalui Jalur PNF
Pendidikan adalah kebutuhan penting bagi kehidupan manusia dan dilakukan oleh manusia untuk pengembangan nilai-nikai moral, pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dibutuhkan bagi peradaban manusia.
Konsep layanan PNFI meliputi layanan pendidikan keaksaraan, Pendidikan anak usia dini, Pendidikan kesetaraan, Pendidikan berkelanjutan dengan berbasisi pendidikan kecakapan hidup dengan memperhatikan kesetaraan gender.
B.      Konsep Layanan Pendidikan Kesetaraan
Spektrum pendidikan kesetaran adalah suatu program yang menggambarkan kegiatan pendidiikan bernuatan akademik, vocational skills, dan terintegerasi keduanya yang didasarkan pada kebutuhan sasaran. Spektrum pendidikan kesetaraan untuk menjawab kepentingan peserta didik baik dari sisi kompetensi akademik maupun dari sisi kompetensi keterampilan dan mata pencaharian. Ketiga spektrum tersebut adalah :
1.       Kesetaraan murni akademik (KMA)
2.       Kesetaran Integrasi Keterampilan (KIK)
3.       Kesetaraan Murni Keterampilan (KMK)
Secara operasional spektrum pertama diselenggarakan melalui pola transformasi pembelajaran akademik dengan pilihan sistem reguler, terbuka, dan akselerasi. Spektrum kedua diselenggarakan melalui transformasi pembelajaran akademik yang terintegrasi keterampilan dengan pilihan sistem reguler dan akselerasi. Spektrum ke tiga diselenggarakan melalui transformasi pembelajran keterampilan dengan sisitem reguler berdasarkan standar kompetensi keterampilan yang dipilih.
1.       Pembelajaran Kelompok Belejar Reguler
Adalah sistem pembelajaran yang menekankan pada kemampuan peserta didik melalui pertemuan secara langsung antara peserta didik dengan tutor / pendidik. Tujuan pembelajaran reguler adalah :
a.       Mengurangi keragaman kecepatan belajar dari peserta didik agar mencapai suatu tingkat pencapaian kompetensi tertentu sesuai denga tujuan pembelajaran yang telah disusun secara sistematis dan terstruktur.
b.      Meningkatkan kualifikasi akademik peserta didik.
c.       Memberikan pembelajaran secara reguler bagi mata pelajaran yang disajikan pada Ujian Nasional.
2.       Pembelajaran Kelompok Belajar Intensif
Merupakan suatu sistem pembelajaran yangmenekankan belajar secara tutorial dan menggunakan modul dalam pendekatan belajarnya.
3.       Pembelajaran Kelompok Belajar Tertutup
Adalah sistem  pembelajaran yan menekankan belajar mandiri dan peserta didiknya bebas menentukan pilihan pembelajaran dalam mencapai kompetensinya.
Spektrum kurikulum Program Paket  A, Paket B, dan Paket C dimaksudkan untuk mencapai standar kompetensi lulusan sesuai dengan Permen Diknas 23/2006 dengan orientasi pengembangan olahkarya untuk mencapai keterampilan fungsional yang menjadi kekhasan program-program Paket A, Paket B, dan Paket  C yaitu :
a.       Paket A : memiliki keterampilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
b.      Paket B : memiliki keterampilan untuk memnuhi tuntutan dunia kerja.
c.       Paket C : memiliki keterampilan berwirausaha.

Jadi pendidikan kesetaraan mengandung 3 pola yang diharapkan dapat membawa perubahan mendasar pada program kesetaraan.

Program Pendidikan Kesetaraan Sebagai Alternati Pendidikan Dasar


A.    Makna Pendidikan Kesetaraan
Pendidikan kesetaraan merupakan salah satu jenis pendidikan Nonformal yang berstruktur dan berjenjang, memberikan kompetensi minimal bidang akademik dan lebih memiliki kompetensi kecakapan hidup, serta memberikan kompetensi kecakapan hidup agar lulusannya mampu hidup mandiri dan belajar sepanjang hayat. Pendidikan kesetaraan memiliki manfaat antara lain yaitu :
1.       Pendidikan kesetaraan meliputi Program Paket A Setara SD, Paket B Setara SMP, Paket C Setara SMA.
2.       Lulusan Program Paket A berhak mendapat ijazah dan diakui setara dengan ijazah SD, lulusan Paket B berhak mendapat ijazah dan diakui setara dengan ijazah SMP, dan lulusan Paket C berhakn mendapat ijazah dan diakui setara dengan ijazah SMA.
3.       Paket A & B setara dalam arti sama dengan kompetensi minimal / essensial SD/MI & SMP/MTs ditambah kompetensi yang lebih berorientasi kecakapan hidup.
4.       Paket C setara dalam arti sama dengan kompetensi minimal/essensial SMA/MA ditambah dengan ditambah kompetensi yang lebih berorientasi kecakapan hidup/kewirausahaan.
B.     Kurikulum dan Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Kesetaraan
Kurikulum Satuan Pendidikan Kesetaraan disusun secara induktif, tematik dan berbasis kecakapan hidup, serta sesuai dengan konteks local dan global. Muatan kurikulum Pendidikan Kesetaraan mengacu pada standar nasional pendidikan yang meliputi mata pelajaran, muatan local, dan pengembangan diri. Pengaturan beban belajar diatur dengan menggunakan dua sistem Jam belajar:
1.      Pertemuan sistem tatap muka (regular), dan
2.      Satuan Kredit Kesetaraan (SKK).

Standar Kompetensi Lulusan Permendiknas No. 23 Tahun 2006 menyebutkan, lulusan pendidikan kesetaraan setara dengan lulusan pendidikan formal tetapi memiliki ciri khas yaitu:
(1) Paket A memiliki keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan  sehari-hari,
(2) Paket B memiliki keterampilan untuk dapat bekerja,
(3) Paket C memiliki keterampilan untuk dapat berwirausaha. Inilah ruh sebenarnya dari program pendidikan kesetaraan.
Namun pada saat ini baik PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) maupun Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang notabene merupakan “laboratoriumnya” program-program pendidikan nonformal yang berada di jajaran Departemen Pendidikan Nasional, dalam menyelenggarakan program pendidikan kesetaraan, tak jauh berbeda dengan pendidikan formal. Baik metode maupun bahan ajarnya merupakan copy paste dari pendidikan formal. Karenanya tak berlebihan jika dikatakan, selain ijazah, warga belajar yang beragam latar belakangnya, waktu dan tempat belajar yang fleksibel, tidak ada lagi nilai lebih dan ciri khas yang dimiliki lulusan program pendidikan kesetaraan.  
Menurut Ade Sudaryat seorang mahasiswa semester akhir (S.2) Program Studi Pendidikan Luar Sekolah, Sekolah Pasca Sarjana UPI Bandung (dalam http://www.jugaguru.com/article/49/tahun/2009/bulan/01/tanggal/28/id/871/)Pendidikan kesetaraan Paket B maupun Paket C hanya melahirkan lulusannya yang samogol (tidak matang, tidak utuh). Secara akademis memiliki kualitas yang lebih rendah dari pendidikan formal, miskin dengan pendidikan keterampilan yang dapat dijadikan bekal untuk dapat hidup mandiri. Jadi apa yang bisa diharapkan dari lulusan program pendidikan kesetaraan?
Para penyelenggara pendidikan kesetaraan seharusnya memahami, para lulusan pendidikan kesetaraan jarang melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Setelah menyelesaikan program pendidikan kesetaraan, rata-rata mereka menjadi pencari kerja. Suatu prestasi yang sangat tinggi dan akan dilirik semua orang jika pendidikan kesetaraan mampu melahirkan lulusan yang utuh, unggul secara akademis dan memiliki keterampilan yang dapat digunakan untuk hidup mandiri dan memiliki bekal untuk berwirausaha.
C. Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan Kesetaraan
Kini program pendidikan kesetaraan, baik Paket A, Paket B, maupun  Paket C sudah mulai dikenal masyarakat. Namun demikian, penyelenggaraan pendidikan kesetaraan harus memiliki nilai lebih, memiliki nilai pembeda dengan pendidikan formal. Kelompok Belajar Usaha (KBU) yang merupakan salah satu nilai lebih dari pendidikan kesetaraan belum sepenuhnya dimiliki oleh setiap penyelenggara program pendidikan kesetaraan. Padahal, KBU merupakan ajang pelatihan bagi mereka untuk menjalani kehidupan sesudah menyelesaikan jenjang pendidikan kesetaraan.
Maka saat ini para penyelenggara pendidikan kesetaraan mendapat tantangan berat, yakni harus memberdayakan warga belajar atau peserta didiknya. Selain itu harus berupaya mengembalikan ruh pendidikan kesetaraan yang selama ini hilang, yakni penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta sikap dan kepribadian profesional. Dalam upaya mengembalikan ruh pendidikan kesetaraan dan memberdayakan warga belajar, para penyelenggara pendidikan kesetaraan dan tutor harus mampu menggali potensi dan bakat yang dimiliki peserta didik dan memanfaatkan sumber daya yang ada di lingkungan sekitar untuk pengembangan dan pemantapan proses pembelajaran. Djudju Sudjana (2000 : dikutip dari http://www.jugaguru.com/article/49/tahun/2009/bulan/01/tanggal/28/id/871/), guru besar Pendidikan Luar Sekolah UPI Bandung mengatakan, terdapat empat sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan dan pemantapan proses pembelajaran , yakni (1) sumber daya manusia, (2) sumber daya alam, (3) sumber daya budaya, dan (4) sumber daya teknologi.
Menyelenggarakan pendidikan kesetaraan merupakan tugas mulia dalam upaya ikut mencerdaskan bangsa. Agar hasilnya maksimal, penyelenggaraannya tak boleh asal-asalan, tapi harus benar-benar profesional. Tugas semua kalangan yang berkompeten dengan program pendidikan kesetaraan untuk membenahi dan menyempurnakan penyelenggaraan pendidikan kesetaraan di lapangan. Mungkin inilah saatnya bagi para lulusan Pendidikan Luar Sekolah berunjuk gigi, berdedikasi mengimplementasikan ilmu yang telah mereka dapat dari bangku kuliah untuk meningkatkan mutu pendidikan kesetaraan. Para lulusan inilah tenaga profesional yang mampu membelajarkan diri dan masyarakat secara berkelanjutan. Sebab jika pendidikan kesetaraan dilaksanakan secara profesional, akan memiliki nilai lebih dibandingkan dengan pendidikan formal, lulusannya dapat hidup mandiri, apalagi mampu menciptakan lapangan kerja, sehingga nantinya lulusan pendidikan kesetaraan takkan lagi dipandang sebelah mata.
                        Sungguh suatu kebanggaan tersendiri bila para lulusan Pendidikan Luar Sekolah menjadi tenaga profesional yang mampu membuat nilai lebih pada pendidikan kesetaraan dibanding dengan pendidikan formal. Dari sini pendidikan kesetaraan dapat menjadi sebuah alternatif pendidikan dasar dimana setiap kalangan bisa melaksanakannya, baik itu orang kaya, miskin, anak jalanan, dan juga masyarakat di daerah terpencil yang masih minim pendidikan. Menyadari bahwa SDM di negara kita yang masih terbilang cukup rendah, setidaknya kita masih memiliki suatu sikap yang optimis pula guna dapat mengangkat SDM kita yang masih serba ketertinggalan tersebut yang salah satu usahanya dapat kita tempuh yaitu melalui jalur pendidikkan non formal atau lebih di kenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS). Terlebih dalam pendidikan non-formal terdapat diversifikasi layanan pendidikan kesetaraan, yaitu :  
1.      Pangkalan belajar, yaitu sistem pelayanan pendidikan kesetaraan yang menghubungkan antara pangkalan (homebased) dengan daerah-daerah penyangga (hinterland) pada kawasan khusus, seperti kawasan perbatasan, pulau kecil.
2.      Pembelajaran langsung, yaitu model layanan pembelajaran yang dilakukan secara langsung.
3.      Lumbung Sumber Daya, yang berorientasi basis komunitas.
4.      Layanan Pendidikan bergerak (mobile education service) atau Kelas Berjalan (Mobile Classroom), merupakan pelayanan pendidikan dengan sistem jemput bola (door to door) yang dilakukan oleh tutor pada peserta didik dari satu tempat ke tempat yang lain.
5.      E-Learning, yaitu pembelajaran pendidikan kesetaraan secara online (e-learning) sebagai alternatif bagi peserta didik yang relatif sulit untuk bertemu langsung dengan tutor atau meninggalkan tempat kerjanya.
                        Selain itu dukungan pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah menggerakan program pendidiakn non formal tersebut, sebab berdasarkan UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus di tumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan yang berbasis masyarkat, serta pemerintah juga bertanggung jawab atas kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya bagi penuntasan wajib belajar 9 tahun.